Dari Sawah Lunto yang dilematis, kami bergerak menuju Batu
Sangkar. Berniat bermalam di rumah kakak perempuan Roni disana. Tempatnya hanya
beberapa ratus meter dari Istana Pagaruyung, salah satu tujuanku pada
perjalanan kali ini. Namun sebelum kesana, kami mampir dulu ke kampung Roni di
Talawi, masih di kabupaten Sawah Lunto.
Talawi adalah kampung halaman Roni. Satu kampung dengan
Muhammad Yamin, salah satu Pahlawan Pergerakan Nasional. Salah seorang
penggagas Sumpah Pemuda. Beliau juga sempat menjadi menteri pada masa
pemerintahan Presiden Soekarno. Salah seorang tokoh pahlawan nasional yang
cukup sering disebut pada pelajaran sejarah dibangku sekolah dulu. Namun tidak
terlalu sering disinggung dalam keseharian kini.
 |
Makam yang amat terasa nuansa Minangnya. Megah tapi tidak berlebihan, layak sebagai makam pahlawan Nasional. |
 |
Pesan sang pahlawan. |
Makam sang pahlawan berada di kampung halamannya. Beliau
dikebumikan disamping makam ayahnya. Kompleks pemakamannya tidak terlalu megah
tapi juga tidak sederhana. Cukup layak sebagai makam pahlawan nasional. Di area
makam, terdapat pesan dari beliau. Pesan persatuan yang memegang peranan
penting dalam pembentukan NKRI. Pesan yang tampaknya perlu digaungkan lagi saat
ini, ditengah bisingnya media sosial yang teramat banyak ujaran kebencian.
 |
Makamnya berdampingan dengan makam ayahnya |
 |
Berjarak 129 km dari Padang, 27 km dari Batu Sangkar |
Dari makam sang pahlawan, kami mampir sebentar ke salah satu
objek wisata “baru” disana: danau biru. Yang ternyata
nggak biru-biru amat. Danau ini merupakan bekas galian tambang. DI
waktu tertentu, jika kejernihan air dan sinar matahari-nya pas, air di danau
akan terlihat biru seperti danau Kaolin di Belitung. Begitulah paling tidak imaji
yang aku lihat dari ponsel Roni.
Tapi ketika kami datangi, warna danau ini sedang tidak biru.
Aktivitas penambangan malah lebih menonjol. Lebih terasa. Bekas-bekas galian
sebagian menumpuk di sisi danau. Sebuah perahu merapat dengan pelan ke pinggiran
danau. Menurunkan muatannya yang tidak banyak. Memindahkannya ke dalam truk
pengangkut material. Entah mau dibawa kemana hasil galian itu.
 |
Danau biru yang (sedang) tidak biru |
 |
Aktivitas tambang di tepi danau |
Tidak lama kami menghabiskan waktu disana. Hanya sekedar
melihat-lihat dan sedikit memotret, lalu beranjak pergi. Menuju rumah saudara
Roni untuk sekedar bersilaturahmi sekaligus melihat proses pengolahan gula
kelapa dan Kare-Kare, salah satu kuliner khas Sawah Lunto. Kare-Kare ini beda
jauh dengan nasi Kare. Kuliner ini lebih berupa makanan ringan, kudapan,
alih-alih pengganti nasi. Bentuknya seperti mi kering dengan bahan dasar
kelapa. Rasanya.. yah, seperti mi kelapa kering. Kriuk-kriuk rasa kelapa.
Makanan yang cocok menemani saat santai seperti saat nonton bola atau teman
minum kopi. Hebatnya, konon hasil produksi desa ini sudah menembus pasar
Malaysia!
 |
Menimang ponakan (in frame: Roni) |
Sayangnya ketika itu matahari sudah cukup condong ke ufuk
barat. Kami tidak ingin kemalaman sampai Batu Sangkar. Maka kami segera pamit,
melanjutkan perjalanan menuju tempat kakak perempuan Roni. Melewati Istana Baso
Pagaruyung. Istana sudah tutup. Sudah terlalu malam ketika kami tiba disana.
Tidak apa, kami memang berencana mengunjunginya esok pagi, bukan malam ini.
Tapi bolehlah mengabadikan Istana Minang ini di waktu malam. One more shot
before sleep.
 |
Istana Baso Pagaruyung di malam hari |
Selamat malam, Pagaruyung. Sampai jumpa esok hari. Semoga
kita bisa banyak berbincang tentang Minang!